Selasa, 25 Desember 2012

Rethinking Indonesia's Development Path



 

Krisis ekonomi yang mendera Amerika dan Uni Eropa menghembuskan kekhawatiran yang mendalam akan potensi resesi global. Berbagai upaya dilakukan untuk menyelamatkan dunia dari resesi global akibat contagion effect krisis Amerika dan Eropa. Mulai dari pengurangan pengeluaran negara bagi negara-negara yang terbelit utang hingga pada efisiensi dan pemangkasan tenaga kerja yang berdampak pada tingginya angka pengangguran pada kedua benua tersebut.


Krisis finansial dunia yang terjadi akibat ketidakseimbangan ekonomi global dan memicu efek domino kontraksi ekonomi yang merata masih menyisakan ketidaknormalan pada sistem perbankan, terutama berkaitan dengan fungsi sebagai pemberi pinjaman, sehingga sektor riil terpengaruh. Sektor perdagangan yang menjadi mesin perekonomian global dengan pertumbuhan melebihi pertumbuhan output telah mengalami penurunan permintaan global. Negara-negara yang postur ekonominya didominasi oleh kekuatan ekspor terpukul karena pasar di negara-negara tujuan ekspor mengalami kontraksi, penurunan tingkat output, defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan, dan naiknya angka pengangguran. Hal ini berimbas pada lemahnya permintaan.

Selain penurunan permintaan ini, negara-negara tujuan ekspor juga memiliki tendensi proteksionis melalui penutupan akses pasar atau pendistorsian kompetisi. Tendensi ini semakin mempersulit akses ke pasar-pasar tujuan ekspor. Untuk itu, strategi diversifikasi menjadi salah satu upaya agar dapat memitigasi risiko dampak krisis global. Kondisi ini tentunya sedikit menguntungkan bagi Indonesia dengan nilai dan volume ekspor yang relatif kecil ke kedua wilayah tersebut (Amerika dan Eropa).

Tujuan ekspor produk/jasa Indonesia sejak tahun 2008 telah banyak bergeser ke kawasan Asia Pasifik dengan China sebagai negara tujuan ekspor terbesar diikuti kawasan ASEAN  dan Jepang. Periode Januari-Oktober 2011, ekspor ke China mencapai 12,72 persen dari total ekspor, ke kawasan ASEAN mencapai 20,22 persen, tujuan Jepang mencapai 11,26 persen, tujuan Amerika sebesar 9,81 persen, tujuan Jerman 2,06 persen, ke kawasan Uni Eropa lainnya mencapai 8,77 persen.

Dari stuktur penyebaran negara tujuan ekspor terlihat adanya pergesaran dari tahun ke tahun upaya untuk lebih mengembangkan pasar-pasar potensial dan tidak bergantung pada pasar tradisional (Amerika, Eropa dan Jepang). Perkembangan ekspor ke China dan ASEAN menunjukkan pertumbuhan di atas 30 persen dari tahun ke tahun. Namun, tantangan terbesar yang dihadapi, yakni bagaimana meningkatkan ekspor dengan nilai tambah yang lebih baik mengingat ekspor Indonesia dikuasai oleh komoditas dengan nilai tambah yang relatif kecil seperti bahan bakar mineral, lemak dan minyak nabati, karet, bijih logam, dan tembaga.

Upaya hilirisasi perlu dikembangkan pada beberapa komoditas strategis, khususnya di bidang pertanian, perkebunan dan perikanan. Upaya hilirisasi ini tentunya secara langsung dapat memperbaiki sebagian industri, penyerapan tenaga kerja dan perbaikan taraf hidup masyarakat yang sebagian besar berada pada sektor tersebut (hampir 40 persen dari total tenaga kerja). Bedasarkan sektor, ekspor hasil industri periode Januari-September 2011 memang mengalami kenaikan sebesar 33,40 persen dibanding ekspor hasil industri periode yang sama tahun 2010, serta ekspor hasil tambang dan lainnya naik sebesar 30,29 persen. Namun ekspor hasil pertanian hanya naik 5,56 persen.

Pengembangan sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan perlu mendapat perhatian serius mengingat sektor ini selain menyerap tenaga kerja terbesar juga merupakan sektor yang sebagian besar terdapat di perdesaaan dan wilayah-wilayah tertinggal. Sehingga dengan mengembangkan sektor ini secara tidak langsung juga memperbaiki sebaran dan distribusi pemerataan pembangunan.

Dari sisi investasi yang masuk ke Indonesia juga masih menunjukkan ketimpangan yang sangat tinggi. Data BKPM menunjukkan pada kuartal ketiga tahun 2011, sebaran investasi (PMA dan PMDN) masih terkonsentrasi pada wilayah Jawa yang mencapai 55 persen diikuti oleh Kalimantan 13 persen dan Sumatera 12 persen. Hal ini tentunya akan menyulitkan bagi upaya pemerataan pembangunan nasional, sehingga konsentrasi ekonomi akan tetap berpusat di Jawa.

Ketimpangan sebaran investasi ini tentunya diakibatkan oleh beberapa kondisi, yakni infrastruktur, suprastruktur dan sumber daya manusia di daerah. Investasi diluar Jawa hanya akan bergerak jika persoalan infrastruktur, suprastruktur seperti birokrasi dan sumber daya manusia dapat dibenahi, sehingga lebih berkualitas. Hubungan antar pulau, interkoneksi antar wilayah yang menghubungkan sentra-sentra produksi perlu segera dibenahi untuk mereduksi disparitas wilayah di Indonesia dengan 17 ribu pulau yang sebagian wilayahnya merupakan perdesaan (78 ribu desa atau ekuivalen 83 persen wilayah NKRI ).

Dari 78 ribu desa yang tersebar di Indonesia, 45 persen di antaranya merupakan desa miskin. Dengan 398 kabupaten dimana 183 di antaranya merupakan kabupaten tertinggal, merupakan fenomena yang tentunya tidak linear dengan predikat emerging market dengan potensi pertumbuhan yang tinggi. Ketertinggalan dan kemiskinan sebagian besar wilayah di Indonesia merupakan refleksi dari ketidakseimbangan distribusi kesejahteraan sebagai dampak tidak meratanya pembangunan ekonomi nasional.

Angka kemiskinan per Maret 2011 dilaporkan BPS mencapai 30,02 juta jiwa dimana 65 persen di antaranya terdapat di pedesaaan. Struktur ketenagakerjaan Indonesia didominasi oleh sektor pertanian sebesar 38 persen yang juga sebagian besar berada di perdesaan. Sementara sektor pertanian di tahun 2010 hanya bertumbuh 2,9 persen (dibawah pertumbuhan nasional), sehingga dipandang tidak cukup ampuh dalam mengangkat tingkat kesejahteraan tenaga kerja di sektor ini.

Dari perspektif jenis pekerjaan, hampir 70 persen tenaga kerja Indonesia pada tahun 2010 bekerja pada sektor informal yang sangat rentan dengan kemiskinan sebagai akibat dari ketidak-terjaminan ekonomi dan sosial di sektor ini. Dengan hilirisasi atau pengembangan industri pengolahan untuk komoditas-komoditas strategis di sektor pertanian, perikanan dan perkebunan diharapkan dapat menggeser tenaga kerja informal ini ke sektor formal dengan jaminan ekonomi dan sosial yang lebih layak.

Gambaran di atas secara sadar menggiring perlunya meninjau kembali paradigma pembangunan yang diyakini selama ini. Paradigma pembangunan  perlu diarahkan pada perbaikan taraf hidup masyarakat dan pemerataan kesejahteraan antara wilayah dalam NKRI. Paradigma pembangunan perlu dititik-beratkan pada perbaikan kualitas dan sebaran pembangunan tidak hanya pembangunan fisik tetapi juga pembangunan manusia.

Indikator pembangunan nasional diharapkan dapat lebih konkrit memotret perkembangan ekonomi di seluruh wilayah NKRI. Pembangunan nasional yang dilakukan selama ini seyogyanya tidak hanya memperhatikan indikator-indikator tradisional yang berpotensi bias dan menegasikan semangat pemerataan pembangunan itu sendiri. Pembangunan nasional perlu memperbaharui paradigma dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan dan UUD 1945 menuju masayrakat yang sejahtera.

Untuk itu, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada 13 Desember 2011 akan menggagas dan mengusulkan paradigma baru pembangunan Indonesia dengan menitik beratkan pada upaya peningkatan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat menuju kedaulatan ekonomi nasional yang kokoh dan berdaya saing tinggi. Instrumen kebijakan publik perlu diarahkan pada upaya mendorong ekonomi sektor riil, seperti suku bunga yang rendah, kemudahan mengakses jasa perbankan, pelayanan perizinan, kredit lebih diarahkan pada kredit modal kerja khususnya di sektor pertanian, perikanan dan perkebunan.

Semua upaya ini perlu berjalan paralel, sehingga ekonomi nasional dapat bergerak dan tumbuh secara organik (bukan nisbi yang berpotensi bubble), integrasi ekonomi domestik dapat lebih optimal menuju kesiapan Indonesia menyambut Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.

Prof. Firmanzah, PhD, Guru Besar dan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis  University Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar