Selasa, 25 Desember 2012

Negara Tanpa Haluan: Pengurasan Sumberdaya Alam dan Kerusakan Lingkungan Berkelanjutan




Ibarat sebuah kapal, implementasi kebijakan pembangunan Indonesia saat ini, khususnya di bidang pengelolaan sumberdaya alam (SDA) dan lingkungan hidup, bagaikan kapal yang berlayar di tengah samudera luas yang mesinnya mati. Akibatnya, motor dan semua perangkat pengendali gerak kapal (buritan) dan pemandu arah kapal (navigator) tidak berfungsi. Gerak kapal sepenuhnya hanya bergantung pada gelombang dan angin yang menerpanya, sehingga kapal terombang-ambing kehilangan arah dan tujuannya.


Jika gelombang besar datang menerpa, apalagi disertai hujan, angin dan badai sekaligus, hampir dapat dipastikan kapal akan segera “karam”, selanjutnya bisa terbalik dan tenggelam. Kapal beserta seluruh muatan dan penumpangnya berada dalam kondisi darurat (bahaya) serta perlu pertolongan segera, “S.O.S” (Safe Our Souls). Pertanyaannya sekarang, mungkinkah kondisi kapal yang demikian masih dapat diselamatkan? Jawabannya bisa ya bisa juga tidak.

Secara internal, semua bergantung pada kesigapan dan ketangguhan sang kapten (nakhoda) dan kru serta sikap dari penumpang. Secara eksternal, sangat bergantung pada cuaca yang ada, normal (tidak ada badai) atau tidak normal alias ekstrem (ada badai). Jika cuaca normal, kapten kapal dan kru sigap (tangkap dan tangkas) serta tangguh dalam mengatasi kemacetan (matinya) mesin kapal tersebut sehingga semua perangkat pengendali gerak (buritan) dan alat navigator seperti kompas dan GPS (Geographical Position System) dapat diperbaiki dan difungsikan kembali, apalagi ditunjang oleh sikap dan perilaku penumpangnya yang peduli (turut membantu) maka keadaan darurat (bahaya) kapal akan dapat segera diatasi. Muatan dan semua penumpang bisa diselamatkan.

Sebaliknya, jika kapten dan kru kapal tidak sigap bertindak, hanya bersikap pasif tanpa inisiatif memperbaiki mesin kapal atau tanpa meminta bantuan dari kapal lain melalui pesan S.O.S., maka kondisi darurat kapal tidak mungkin dapat diatasi. Bahkan jika cuaca berubah jadi ekstrem (ada topan dan badai), maka bisa segera berubah menjadi musibah (malapetaka). Kapal terbalik dan tenggelam di laut. Jika sudah demikian, semua upaya yang dilakukan sia-sia belaka. “Nasi sudah menjadi bubur, tak mungkin bisa dirubah lagi dikembalikan menjadi nasi!”.

Dalam hal kasus pengelolaan SDA dan lingkungan hidup di Indonesia analoginya adalah berupa hancurnya tatanan (stabilitas) ekosistem secara permanen dan sistemik yang akan berdampak luas terhadap stabilitas ekonomi nasional dan stabilitas sosial masyarakat secara keseluruhan. Contoh kasus nyata dan aktual serta masih berlangsung sampai saat ini dan belum dapat diatasi adalah bencana meluapnya lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, banjir rob (rutin) di pantura Jakarta dan Semarang serta longsor di berbagai daerah.

Dalam skala lebih luas (regional) adalah bencana banjir rutin tahunan yang terjadi di hampir seluruh wilayah kota di Indonesia, baik di Jawa maupun luar Jawa, bahkan juga terjadi di berbagai negara Eropa, Australia, Amerika dan tentu saja di Asia. Hal tersebut menjadi suatu pertanda bahwa kerusakan SDA dan lingkungan di Indonesia saat ini sudah parah. Kerusakan di tingkat global berupa pemanasan global (global warning) di seluruh dunia yang saat ini sedang berlangsung.

Tujuan Pembangunan

Pembangunan dilakukan bertujuan untuk membuat kualitas hidup dan kehidupan masyarakat semakin baik dan sejahtera (lahir dan bathin), baik secara individu, kelompok maupun sebagai suatu negara. Pembangunan yang dilaksanakan secara baik dan benar sesuai kaidah (prinsip) pembangunan berkelanjutan (sustainable development) akan berdampak positif pada kualitas kehidupan masyarakat secara ekonomi, sosial maupun ekologi (lingkungan).

Namun dalam kenyataannya (fakta) yang terjadi di lapangan bisa sebaliknya, jika pembangunan dilakukan oleh pemerintah atau oknum pemerintahan yang tidak amanah dan tidak jujur, apalagi korup? Tingkat kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat di berbagai wilayah di Indonesia saat ini pada umumnya masih relatif rendah dan sangat beragam. Ada yang sangat miskin sekali (fakir) dan ada pula yang sangat kaya sekali (konglomerat).

Proporsi masyarakat yang hidup di bawah standar (garis) kemiskinan relatif sangat tinggi (lebih dari 30 persen), angka tingkat pengangguran (tak terdidik dan terdidik) juga sangat tinggi serta setiap tahun jumlahnya terus meningkat, sementara lapangan kerja baru tidak tersedia. Seperti kita saksikan dalam berita media massa (cetak maupun elektronik) selama ini, kondisi sosial masyarakat di berbagai wilayah penuh dengan konflik. Sementara kondisi ekosistem (lingkungan) darat maupun di perairan (laut dan sungai) semakin rusak parah.

Bila dikaji secara cermat, sebenarnya hasil-hasil pembangunan di Indonesia selama ini lebih banyak dinikmati oleh sekelompok (sebagian) kecil masyarakat dari kalangan pejabat pemerintah (penguasa) dan pengusaha (konglomerat), baik di pusat maupun daerah, yang jumlahnya relatif kecil, mungkin tidak lebih dari 10 persen dari jumlah masyarakat Indonesia keseluruhan yang mencapai 240 jutaan. Sisanya, sekitar 60 persen dapat dikatakan tingkat kualitas hidup dan kehidupannya termasuk kategori pas-pasan, yaitu pas berada di atas garis kemiskinan (sedikit) versi pemerintah (kriteria almarhum Sajogyo), yaitu terpenuhinya kebutuhan kalori manusia 2100 kilo kalori (kkal) perhari atau kira-kira setara 800 gram beras perorang perhari atau sekitar 24 kg perbulan.

Dengan asumsi bahwa beras yang dikonsumsi tersebut berkualitas rendah seperti halnya beras bantuan untuk orang miskin (Raskin) dengan harga di pasar sekitar Rp4.500 per kg dan jumlah anggota keluarga sebanyak lima orang per keluarga, total penghasilan masyarakat termasuk dalam kategori miskin (versi pemerintah) setara dengan 24 kg x 5 orang = 120 kg beras x Rp4.500 = Rp540 ribu perbulan. Jika kualitas beras yang dikonsumsi dinaikkan sedikit menjadi sekitar Rp7.000 per kg, maka katagori miskin jika penghasilan sebesar Rp840 ribu. Jika dinaikkan lagi dengan kualitas beras tertinggi Rp10 ribu per kg, jumlah penghasilan masyarakat yang termasuk katagori miskin sebesar Rp1,2 juta per bulan per keluarga.
Dengan demikian kriteria batas (garis) kemiskinan berdasarkan kriteria Sayogyo tersebut bisa bervariasi dengan tingkat penghasilan sebesar Rp540 ribu hingga Rp1,2 juta per keluarga. Selama ini, pemerintah dalam menetapkan proporsi masyarakat miskin di Indonesia seringkali menggunakan besaran tingkat penghasilan dengan batas paling bawah: menggunakan kualitas beras paling rendah (murah) Rp4.500 per kilogram. Jadi setara penghasilan Rp540 ribu per bulan perkeluarga. Jika dihitung dengan beras kualitas tinggi, kriteria tingkat penghasilan masyarakat miskin naik menjadi Rp1,2 juta per bulan per keluarga.
Hal tersebut sama dengan angka yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk upah minimum regional (UMR) yang berlaku di wilayah Jabodetabek, khusus DKI Jakarta (untuk perkotaan). Jika kriteria penghasilan batas atas tersebut diterapkan dalam perhitungan proporsi masyarakat miskin keseluruhan, sudah pasti proporsi warga miskin di Indonesia saat akan lebih tinggi lagi dari 30 persen. Bisa jadi proporsi masyarakat miskin 50-60 persen. Artinya, tujuan pembangunan untuk mensejahterakan hidup seluruh warga sampai saat ini selama hampir 67 tahun sejak NKRI berdiri (merdeka) belum berhasil, bahkan masih jauh dari harapan.

Kebutuhan Dasar Hidup dan UMR

Untuk dapat hidup layak dan beraktivitas secara optimal, manusia tidak hanya membutuhkan makan (pangan) tetapi butuh juga sandang (pakaian), papan (tempat tinggal), pendidikan, kesehatan, keamanan dan energi, yang semuanya merupakan kebutuhan dasar (primer) yang harus dipenuhi setiap saat. Sesuai amanat UUD 1945 semua kebutuhan dasar tersebut merupakan tugas (kewajiban) pemerintah untuk menyediakan dan memenuhinya. Oleh karena itu, bahan untuk kebutuhan dasar harus selalu tersedia dalam jumlah yang memadai di pasaran dengan harga yang murah dan terjangkau. Dengan UMR Rp540 ribu per bulan untuk masyarakat di perdesaan dan Rp1,2 juta untuk masyarakat di perkotaan tentu saja masih sangat minim dan masih jauh dari cukup.

Dengan asumsi tiap keluarga terdiri atas lima orang (jumlah anak 3), nilai UMR sebesar itu baru bisa untuk memenuhi kebutuhan pangan (beras) saja. Adapun untuk memenuhi kebutuhan dasar lainnya, seperti pakaian, perumahan, pendidikan, kesehatan dan energi (listrik, transportasi, masak, dll) sudah tidak mungkin. Padahal, untuk pemenuhan kebutuhan pangan bukan saja dari segi jumlah (kuantitas), tapi juga kualitasnya.

Kualitas pangan yang baik akan berdampak positip terhadap kesehatan manusianya. Kualitas pangan yang baik harus mengandung zat gizi yang cukup, meliputi karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Karbohidrat dapat bersumber dari tepung beras, jagung atau ubi-ubian, sedangkan protein dapat bersumber dari ikan, daging, telor (hewani) bisa juga dari nabati (tahu & tempe). Adapun vitamin dan mineral bisa didapat dari sayuran dan buah-buahan, sedangkan lemak sebagai zat gizi cadangan umumnya berasal dari daging ternak (ayam, kambing, sapi dan babi).

Jika kesemua zat gizi tersebut bisa terpenuhi dalam menu pangan, maka kualitas pangan demikian telah memenuhi kriteria empat sehat, yaitu mengandung empat zat gizi: karbohidrat, protein, vitamin dan mineral. Jika ditambah satu produk lagi berupa susu (protein kualitas tinggi), kualitas pangan sudah memenuhi kriteria lima sempurna. Jika kualitas pangan masyarakat memenuhi kriteria empat sehat lima sempurna, dapat dipastikan kualitas kesehatan dan kecerdesan masyarakat akan tinggi.

Masyarakat yang sehat dan cerdas tentu saja akan melahirkan generasi penerus bangsa yang sehat dan cerdas pula. Bagaimana dengan kondisi menu pangan masyarakat kita saat ini? Mungkinkah dengan bantuan Raskin masalah kekurangan gizi (gizi buruk) bisa diatasi? Mungkinkah dengan nilai UMR yang telah ditetapkan pemerintah masyarakat bisa memenuhi kebutuhan dasarnya?

Kemiskinan Berkelanjutan di Tengah SDA Melimpah 

Dengan tingkat UMR yang rendah dan tingkat harga kebutuhan pokok yang mahal dan selalu mengalami kenaikan, kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya juga tentu saja sangat rendah. Dengan tingkat UMR sebesar Rp540 ribu untuk masyarakat perdesaan dan Rp1,2 juta untuk masyarakat perkotaan, sudah dapat dipastikan kualitas pemenuhan kebutuhan pangan, pakaian, perumahan dan pendidikan serta kesehatan yang dapat dipilih adalah yang serba murah dan meriah atau serba seadanya (dibawah standar).

Makan seadanya, artinya kalau ada makanan ya makan kalau tidak ada makanan ya tidak makan, atau sehari makan sehari tidak, rumah seadanya, bila terpaksa bisa tinggal dimana saja asal bisa untuk berteduh seperti: bantaran sungai, rel kereta api atau di bawah kolom jembatan. Tidak sedikit dari mereka yang menyandang sebutan tuna wisma. Apalagi bicara soal pemenuhan pendidikan dan kesehatan, tentu saja ”jauh panggang dari api” alias mustahil terjangkau.

Kondisi masyarakat Indonesia yang demikian nyata ada di depan mata kita, baik di wilayah perkotaan dan pedesaan. Mungkin itulah porsi 30 persen yang dimaksud oleh Pemerintah yang selama ini diatasi dengan program BLSM (Bantuan Langsung Sementara)? Bila didata dengan baik, jumlah mereka akan terus bertambah dari waktu ke waktu. Apalagi kalau harga BBM jadi dinaikkan. Mereka selamanya tenggelam dalam lumpur kemiskinan yang tiada ujung. Istilah yang lebih tepat sebenarnya bukan miskin lagi, tapi fakir, yaitu hasil kerja hari ini tidak cukup memenuhi kebutuhan hidupnya hari ini juga alias kondisinya selalu minus atau defisit. Kondisi ekonomi masyarakat yang sangat fakir demikian tentu saja akan melahirkan kondisi sosial yang rawan konflik dan dekat dengan kriminalitas. 

Di tingkat negara hal tersebut tercermin dari nilai utang Indonesia yang terus bertambah dari waktu ke waktu. Di sisi lain, pengurasan SDA dan pengerusakan lingkungan terus berlangsung. Sungguh sangat kontradiktif, kemiskinan dan kefakiran rakyat serta negara terjadi di tengah-tengah kekayaan SDA yang sangat melimpah, baik di darat maupun di laut. Di darat, ada hutan yang terhampar luas dari Sabang (Aceh) sampai Marauke (Papua). Kondisinya saat ini sangat parah dan sangat menyedihkan karena hanya ditebang saja (dieksploitasi dan di rusak) tanpa pernah mau menanam dan memelihara, apalagi memulihkan (rehabilitasi), tidak peduli lagi hutan lindung atau bukan?

Di perairan (laut dan sungai), ada ikan yang sangat banyak serta melimpah ruah jumlah dan jenisnya selama ini hanya ditangkap saja, habitatnya dirusak dan dicemari. Di dalam tanah (perut bumi), ada berbagai bahan tambang mulai dari pasir biasa, pasir besi, nikel, tembaga sampai emas, bahkan batubara, minyak dan gas bumi. Selama lebih dari 30 tahun terus menerus dikuras (dieksploitasi) untuk dijual (diekspor) keluar negeri dengan mengatasnamakan ”pembangunan”?
Kekayaan SDA Indonesia yang sangat melimpah ruah bukannya disyukuri dengan cara dihemat dan dimanfaatkan secara arif dan bijaksana, tapi malah dieksploitasi secara boros dan brutal untuk dijual ke luar negeri demi menghasilkan rupiah secara cepat. Untuk selanjutnya rame-rame dikorupsi oleh para pengelolanya (pemerintah dan aparatnya) yang difasilitasi oleh para pengusaha (konglomerat) nakal. Jadi tidak heran kalau Negara saat ini dalam kondisi ”sangat kritis”.

Sudah pasti ada (bahkan banyak) yang salah dalam pengelolaannya, baik di level kebijakan (perencanaan) maupun pelaksaaan. Pertanyaannya, sadarkah pemerintah, baik pusat maupun daerah), beserta seluruh aparatnya tentang adanya kesalahan dalam pengelolaan tersebut? Tahukah mereka jalan keluar dari kondisi krisis yang sedang dialami tersebut? Akankah nasib negara Indonesia ke depan nanti seperti kapal yang karam karena mati mesin sehingga kehilangan arah, terombang-ambing di tengah samudra luas tidak tahu lagi dimana dan kemana tujuan perjalanan berakhir? Atau kapal akan segera tenggelam masuk kedasar laut karena dihantam gelombang dan badai yang ganas?

Kondisi negara Indonesia saat ini sedang dikepung arus gelombang globalisasi dan badai liberalisasi yang ganas yang siap melumpuhkan sendi-sendi dasar persatuan dan kesatuan serta patriotisme bangsa. Sanggupkah nakhoda kapal (pemerintah) dan seluruh kru (aparat) beserta seluruh penumpang (rakyat atau masyarakat) mengatasi kemacetan mesin (pemerintah), sehingga negara bisa berfungsi normal kembali? Berfungsi normal artinya kembali kepada cita-cita luhur berdirinya NKRI dengan dasar (landasan idiil) Pancasila dan UUD 1945.

Negara dibangun di atas lima fondasi utama, yaitu pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Outputnya adalah lahirnya manusia Indonesia yang bertaqwa kepada Tuhannya, ditandai dengan sifat jujur dan amanah (tanggung jawab) dalam setiap aktivitasnya dari seluruh lapisan masyarakat, mulai dari presiden, gubernur, bupati sampai kepala desa sebagai pemerintah atau penyelenggara (pengelola) negara, para pengusaha (konglomerat) sebagai mitra pemerintah serta seluruh rakyat atau masyarakat sebagai pemilik kedaulatan.

Kedua
, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Outputnya melahirkan manusia yang berbudi luhur, punya adab dan sopan santun (budaya) yang sangat tinggi, mampu saling menghargai dan menghormati satu sama lain baik dalam statusnya sebagai individu, anggota masyarakat maupun bagian dari pemerintahan sehingga selalu menjunjung tinggi rasa adil dan keadilan.

Ketiga, Persatuan Indonesia. Outputnya lahirnya rasa bangga terhadap patriotisme untuk NKRI sehingga rasa kesatuan dan persatuan sebagai satu bangsa Indonesia menjadi sesuatu harga mati (harus ada) dalam setiap diri (pribadi) masyarakat Indonesia yang sangat dibutuhkan serta harus kokoh.
Keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat dalam Permusyawaratan dan Perwakilan. Outputnya adalah lahirnya rasa rendah hati dan selalu memihak (pro) kepada rakyat (yang serba lemah dan papa) dari para wakil rakyat yang duduk di parlemen, baik di DPR, MPR maupun DPD, sehingga aspirasi dan suara (kepentingan) rakyat menjadi prioritas utama kepentingan perjuangannya di parlemen.

Kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Outputnya adalah lahirnya para pemimpin bangsa yang selalu berpijak dalam setiap langkah aktifitasnya mengelola negara untuk tercapainya sebesar-besarnya dan secepat-cepatnya kemakmuran rakyat melalui penerapan kebijakan (prinsip) keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa kecuali dan pandang bulu (sama kedudukannya di depan hukum).

Negara dijalankan berlandasan konstitusi UUD 1945 yang dijabarkan dalam bentuk pasal-pasal lebih rinci sebagai pedoman penunjuk arah yang lurus, baik dan benar sesuai dengan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila, yaitu menuju terwujudnya Indonesia Raya, yaitu NKRI yang tangguh, kuat, berperan aktif dan positip dalam kancah (percaturan) bangsa-bangsa di dunia (Internasional) yang didukung penuh oleh seluruh rakyatnya yang hidup makmur dan sejahtera serta mendapat perlindungan hukum secara penuh dari negaranya.

Adakah solusinya?

Tentu saja ada. Pertama, kembalilah kepada nilai-nilai luhur Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara. Pahami dan hayati isi serta maknanya, wujudkan (implementasikan) dalam bentuk perilaku nyata (kepribadian bangsa) sehari-hari. Kedua, jadikanlah UUD 1945 sebagai haluan (arah dan pedoman) untuk mencapai tujuan pembangunan nasional, yaitu kesejahteraan rakyat yang adil dan merata. Implementasikan isi dan pasal-pasal yang ada dalam UUD 1945 tersebut secara konsekwen dan konsisten, sehingga terwujud pemerintahan yang bersih, jujur, berwibawa dan bertanggung jawab.

Surjono Hadi Sutjahjo
Guru Besar Fakultas Pertanian IPB dan Staf Pengajar Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana IPB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar