Selasa, 25 Desember 2012

Deindustrialisasi: Neoliberalisme atau Negara Inkompeten?




Beberapa tahun belakangan ini sering muncul penilaian dari berbagai kalangan tentang dominannya kebijakan negara yang dianggap mengikuti faham neoliberal. Mereka mengajukan bukti dengan menunjuk penguasaan asing di beberapa sektor yang dianggap strategis, khususnya pertambangan. Analisa semacam ini memberi gambaran yang dramatis tentang dikeruknya kekayaan bumi Indonesia hingga negeri ini kering kerontang dalam kemiskinan.


Dari banyaknya orang yang mengajukan pandangan di atas, tidak ada satupun yang disertai studi akademis yang kerangka pijakan dan metodologinya jelas. Menurut penulis, cara seperti ini berbahaya karena tidak akuntabel. Selain itu, tidak kalah seriusnya, adalah mengaburkan persoalan struktur perekonomian Indonesia saat ini yang harus segera ditangani terutama oleh negara: pemerintah dan legislator. Mereka akan nyaman sekali karena segala permasalahan di wilayah publik dilontarkan pada kesalahan pihak asing.

Suatu studi baru-baru ini dikeluarkan oleh Bank Dunia tentang kondisi manufaktor Indonesia. Dari satu perspektif mungkin hal ini ironis karena Bank Dunia sering dianggap kaki tangan dari kaum neoliberal. Meskipun laporan Bank Dunia ini masih memerlukan pendalaman dalam aspek tertentu, namun penulis menganggap bahwa studi yang dilakukan cukup valid karena beberapa alasan. Pertama, di waktu yang lalu LIPI pernah melakukan studi tentang kondisi industrialisasi di Indonesia yang hasilnya tidak bertentangan. Kedua, penulis pernah melakukan penelitian dalam industri garmen dan industri kreatif yang hasilnya juga tidak bertentangan dengan laporan tadi.

Ketiga, rekomendasi yang dihasilkannya juga berbasis pada apa yang telah dialami beberapa negara lain di Asia Timur, yang dalam beberapa puluh tahun berhasil menjadi negara dengan kesejahteraan tinggi. Keempat, penemuannya sejalan dengan laporan media massa maupun studi tentang pungutan dan inkonsistensi yang dialami dunia usaha di Indonesia. Jadi yang ingin membantahnya, harus mampu membuktikan sebaliknya.

Karena itu, mari kita lihat laporan Bank Dunia sebagai salah satu pengangan menilai kondisi kebijakan dan institusional yang mempengaruhi perkembangan industri manufaktur menuju keterbelakangan.

Laporan itu mengatkan bahwa terjadi kemunduran pertumbuhan industri Indonesia sejak reformasi. Hampir semua subkategori manufaktur mengalami kemunduran, khususnya yang pernah menjadi andalan ekspor Indonesia, yaitu pakaian/tekstil, alas kali dan produk kayu.

Secara keseluruhan, penurunan terjadi dari 21 persen pada periode 1990-95 menjadi 8.8 persen pada periode 1996-2000, hanya 5.1 persen selama pertengahan pertama tahun 2000-an, lalu naik menjadi 11.4 persen di periode 2005-2010, terutama karena didorong industri pegolahan sumber daya alam.

Kemunduran industri Indonesia disebabkan oleh beberapa hal. Dari segi kapasitas, kelemahan yang ada adalah kemampuan meningkatkan rantai nilai, meningkatkan nilai tambah, dan inovasi. Namun kelemahan ini disebabkan sulitnya mengakumulasi modal karena persaingan yang ketat maupun karena semakin mahalnya barang yang tidak bisa diperdagangan, seperti listrik dan infrastruktur jalan. Selain itu, pertumbuhan di sektor pertambangan membuat pasar tenaga kerja dan jasa timpang dengan melampaui kapasitas industri lainnya.

Kondisi struktural lainnya adalah akses ke keuangan yang membawa dampak sekitar 70 persen hambatan. Sedangkan persoalan institusional adalah regulasi pemerintah yang tidak jelas dan pelaksanaannya yang tidak transparan di tingkat birokrasi. Peraturan perburuhan juga serta penegakan keteraturan hubungan industrial merupakan penyebab penting lainnya.

Industri Indonesia juga mengalami fenomena “melompong di tengah”, yaitu mandegnya perkembangan industri menjadi besar. Padahal, pengalaman negara lain, industri yang baru ingin berkembanglah yang banyak menyerap tenaga kerja. Hal ini disebabkan oleh hambatan dalam pasar input dan output, sehingga perusahaan cenderung terus kerdil. Persoalannya bukan hanya penyediaan izin yang tidak memudahkan.

Pasar input dan output dalam ekonomi global saat ini adalah masalah kemampuan masuk dalam jaringan perdagangan lintas negara. Industri yang maju adalah yang mampu mengkombinasikan berbagai input yang tersedia di lintas negara. Sebaliknya, pihak lain memilih mitra internasionalnya melalui standar mutu, reliabilitas, dan kemampuan memahami pihak lain. Kesemuanya ini membutuhkan dukungan infrastruktur, jaminan institusional, dan kecakapan memetakan dan memposisikan diri.

Jika kita lihat kondisi pendidikan di Indonesia, untuk tingkat pekerja saja banyak pengusaha mengeluhkan disiplin dan etos kerja buruh Indonesia. Di tingkat pemimpin perusahaan, inovasi dalam dunia industri bukan sekadar menghasilkan model baru seperti industri fashion. Namun juga menyangkut pengelolaan sumber daya baru untuk menghasilkan produk yang mungkin lebih memberi manfaat atau lebih murah.  Pengalaman negara Asia Pasifik, inovasi bukan karya individual melainkan buah kondisi institusional yang sebagian besar diciptakan pemerintah. 

Industri eksploitasi sumber daya alam adalah pilihan yang mudah bagi semua pihak. Bagi pemerintah pusat dan daerah, artinya pendapatan cepat tanpa bersusah payah memperbaiki kondisi institusional. Bagi orang yang mempunyai uang ini adalah bisnis yang mudah dimasuki. Namun, bisnis ini tidak mempunyai banyak arti dalam transfer pengetahuan bagi pekerja industri. Industri ini sudah sedemikian terstruktur dengan pembagian kerja yang jelas. Dalam industri ini hanya dibutuhkan lebih sedikit tenaga ahli yang dapat menjalankan teknologi dalam bidangnya. Selebihnya, buruh berketrampilan rendah. Rantai nilainya juga relatif pendek.

Dengan demikian deindustrialisasi berbahaya melampui masalah pengurangan pertumbuhan suatu katagori. Dalam jangka pendek, jelas terjadi penurunan tenaga kerja. Dalam jangka menengah adalah hilangnya institusionalisasi industri, termasuk peningkatan ketrampilan pekerja. Dalam jangka panjang, terjadi penciutan jaringan antara satu industri dengan rantai pasokan dan distribusinya.

Tersedianya pilihan dalam industri eksploitasi justru merugikan karena mengalihkan pemerintah dari tugasnya membangun industri. Selain itu, tumbuhnya industri ini tanpa diikuti yang lain, menimbulkan distorsi harga dan ketimpangan pendapatan.

Meuthia Ganie-Rochman, sosiolog organisasi dan mengajar di Universitas Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar