Pemimpin Baru
|
Sejarah kepemimpinan Indonesia tidak mempunyai khasanah yang kaya tentang isi visi pemimpin. Visioner bukanlah tentang perubahan besar yang mengkontraskan Indonesia kini dengan masa depan. Pemikiran visioner, misalnya, tidak cukup dengan mengatakan Indonesia akan menjadi salah satu pemimpin di Asia atau perekonomian Indonesia menjadi masuk lima besar.
Sebagai gambaran, hal ini berbeda dengan pandangan visioner Mohammad Hatta tentang koperasi sebagai soko guru perekonomian Indonesia. Bagi penulis, perbedaannya terletak bukan hanya pada kemampuan menunjuk satu institusi ekonomi, tetapi juga kebijakan dan kerja yang dilakukan Hatta untuk membangun institusi tersebut.
Pandangan visioner harus dinilai dari kejelasan institusi mana yang mau diarahkan untuk mencapai tujan visoner tadi. Jika tidak, maka kebijakan seperti angin yang tanpa arah, berat dengan jargon. Sebagai contoh, belakangan ini para pemuka nasional sering menyebut membangun ekonomi kerakyatan. Mungkin ada alokasi kredit dan dana bantuan, tapi kerangka dan pengorganisasian pelaksanaannya tidak meyakinkan.
Kemampuan mengorganisasikan perubahan hanya dapat diperoleh dari pengetahuan dan pengalaman. Karena itu pemimpin yang visioner harus pernah memimpin organisasi besar yang kompleks. Apa yang dimaksud kompleks? Kondisi kompleks adalah jika eksistensi organisasi mempunyai tujuan yang berhadapan dengan banyak kepentingan, berada dalam keketatan sumber daya, dan organisasinya harus berada dalam proses berkembang untuk menghadapi berbagai tantangan. Organisasi yang kompleks bisa mapan, dimana tata caranya sudah jelas. Dalam hal ini, yang kompleks adalah struktur organisasinya, dan tidak dapat dikatakan bahwa sang pemimpin teruji secara keras.
Organisasi merupakan prasyarat pemimpin melakukan perubahan. Di negara Barat yang mapan, pemimpin muncul dari partai politik. Partai politik digunakan secara berbeda sesuai dengan konteks kematangan sistem politik. Di negara yang mapan, pemimpin menggunakan partai sesuai dengan platform partai. Di negara demokrasi baru seperti Indonesia, partai masih harus mengkonsolidasikan dirinya karena arena politik memberi banyak kemungkinan bagi para aktor. Jangankan partai dapat berfungsi mengartikulasikan kepentingan masyarakat, mengendalikan arahnya sendiri tidak dapat.
Partai politik harus didisiplinkan sebelum mendapat kepercayaan masyarakat. Organ-organnya harus mampu memfokuskan pada persoalan masyarakat. Seandainya ada pemimpin partai politik yang mampu seperti itu, dia dapat dikatakan mempunyai kemampuan politik yang tinggi.
Arena pengujian lain bagi calon pemimpin adalah birokrasi. Birokrasi di Indonesia belakangan ini semakin mundur fungsinya sebagai pengatur dan pengelola sumber daya publik. Banyak birokrat, terutama di daerah, yang mengeluhkan banyaknya campur tangan klan dan partai. Hal ini mempersulit dan membuat kegiatan pembangunan melenceng dari tujuannya. Pemimpin daerah yang mampu menangani hal ini (relatif) dan menjaga sumber daya publik untuk program pembangunan yang mensejahterakan, adalah orang yang telah teruji.
Pengujian organisasional juga dapat dilakukan di luar partai dan birokrasi, seperti organisasi massa, korporasi, asosiasi, atau perguruan tinggi. Namun untuk dapat dikatakan teruji, pemimpin dari organisasi tersebut harus mampu melakukan terobosan secara internal maupun sumbangan dari organisasinya dalam menyelesaikan masalah kemasyarakatan. Pengalaman dalam hal ini menguji kemampuan dalam restrukturisasi pengelolaan sumber daya, resistensi, negosiasi, dan kemampuan membangun struktur alternatif.
Jadi kunci pemimpin dalam konteks Indonesia saat ini adalah kemampuan membangun struktur aternatif. Gagasan-gagasan ideal dari teks book maupun dari pengalaman negara lain baru sebagian membantu. Masalah yang dihadapi Indonesia sangat kompleks. Dia harus mempunyai kemampuan secara politik dan teknokratis. Kedua hal ini sering tidak dapat dipisahkan. Disinilah banyak pemimpin yang tidak mampu menggabungkannya. Komitmen tidak cukup, harus ada sistem. Politik bukanlah hanya tentang adu kekuatan tawar-menawar. Politik juga tentang membangun sistem komunikasi, pengelolaan dukungan yang sehat, dan negosiasi yang terbuka.
Pemimpin membutuhkan dukungan masyarakat untuk melakukan perubahan. Dukungan berdasarkan “appeal” hanya bertahan sebentar. Sistem perubahan harus segera dibangun selangkah demi selangkah. Sang pemimpin berkejaran dengan waktu. Musuh yang terbesar berasal dari orang pendukungnya sendiri yang berusaha memanfaatkan posisi sang pemimpin. Mereka merasakan kenyamanan dan kesempatan yang besar dan adalah fokus mereka untuk mempertahankan itu.
Jadi sebenarnya proses penilaian dukungan sudah dimulai pada saat calon mengkampanyekan programnya. Sebagai individu, memang dia tidak mngkin menguasai segala masalah. Namun bentuk dukungan dan kualitas pendukungnya harus terlihat dari kerangka programnya. Program yang umum menunjukkan calon ini tidak yakin kemampuannya sendiri dalam memahami masalah dan tingkat dukungan yang bisa dia peroleh. Sudah saatnya Indonesia harus masuk dalam teknokrasi politik yang bertujuan transformatif.
Meuthia Ganie-Rochman, Ahli sosiologi organisasi, mengajar di Universitas Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar