|
Pada persoalan yang pertama, setiap disiplin ilmu baru memberikan pengetahuan tentang korupsi dari aspek yang terbatas. Setiap perspektif mempunyai definisi, lingkup, isu pokok, dan konsep-konsep utama. Perspektif kultural berpegang
pada pandangan bahwa korupsi atau tidak suatu tindakan tergantung pada pemberian makna oleh masyarakatnya. Pendekatan ini paling kritis dalam menilai definisi yang baku tentang korupsi yang berdasar pada definisi legal dimana korupsi merupakan pelanggaran atas aturan formal.
Pemberian makna merupakan suatu proses yang dibentuk oleh struktur yang ada dalam masyarakat. Dalam pendekatan antropologis juga dilihat masalah representasi: kelompok manakah yang terlibat, bagaimana mereka mengartikan korupsi, di arena sosial mana korupsi dibahas, terhadap kelompok mana label korupsi diberikan, dan sebagainya.
Perspektif politik melihat korupsi yang menggunakan organisasi, sistem dan institusi politik, seperti partai politik, badan eksekutif, badan legislatif, dan badan pemilihan umum. Moral yang digunakan bisa berbentuk ideologi seperti demokrasi, prinsip dan aturan demokrasi, tujuan negara yang biasanya mencakup keadilan dan kesejahteraan yang luas, atau sistem hukum yang berlaku. Tindakan korupsi melanggar moral di atas melalui instrumen politik.
Pendekatan ekonomi politik meletakkan dalam konteks hubungan jalin menjalin antara kepentingan politik dan ekonomi serta implikasinya. Menonjol dalam aliran ini adalah Johnston yang melihat bahwa oportunitas politik dan ekonomi membentuk pola-pola korupsi. Organisasi dan institusi negara, terutama yang berkaitan dengan institusi politik dan pembangunan, dimanfaatkan untuk menghasilkan kebijakan yang menguntungkan kelompok tertentu.
Transisi demokrasi juga menghasilkan situasi kritis berkembangnya korupsi. Hal ini disebabkan lemahnya institusi politik dan pasar memungkinkan berkembangnya berbagai praktik tidak absah, seringkali kemudian berkembang menjadi terorganisasi dan dilindungi oleh praktik kekerasan. Selanjutnya ini lebih menghambat praktik demokrasi dan ekonomi yang sehat.
Korupsi politik adalah penyalahgunaan lembaga-lembaga politik, seperti partai politik, lembaga pemilihan umum, badan pembangunan, parlemen, dan badan perencanaan pembangunan. Lembaga pemilihan umum adalah alat legitimasi yang tersedia dalam sistem demokrasi untuk memilih pemimpin. Di banyak negara berkembang dan transisional, perangkat demokrasi mungkin lengkap didirikan, namun pelaksanaannya tergantung pada pada sejumlah organisasi, mekanisme, dan kultur politik yang menopangnya untuk berjalan dengan jujur.
Korupsi oleh partai politik juga sering dibahas. Partai digambarkan sebagai alat tawar-menawar dalam membagi kekuasaan dan akses terhadap sumber daya publik, baik untuk organisasi maupun individu. Korupsi yang terjadi oleh partai bukan saja menyangkut penyelewenangan dana publik untuk tujuan yang absah. Korupsi juga bisa bersifat lebih kompleks, yaitu dalam arti menjual kepercayaan pemilih untuk mencapau tujuan yang lain.
Perspektif legal mendefinisikan korupsi sebagai tindakan yang tidak mengikuti aturan hukum. Persoalan korupsi dilihat sebagai kelemahan rumusan hukum dan prosedur penegakan hukum. Definisi menurut perspektif legal terbatas pada rumusan dan prosedur. Latar belakang aktor, konstalasi politik, karakter kenegaraan, tidak dilihat dalam persoalan korupsi.
Perspektif ekonomi melihat korupsi sebagai persoalan penyimpangan alokasi sumber daya yang “seharusnya”. Melihat inefisiensi dalam dan terhadap institusi pasar dan korupsi sebagai upaya maksimasi keuntungan. Faktor risiko dan ada tidak adanya alternatif termasuk yang diperhitungkan dalam penentuan “harga” korupsi.
Perspektif sosiologis melihat persoalan korupsi sebagai persoalan institusional yang terdiri dari jaringan norma. Organisasi (publik) mempunyai karakter dibentuk maupun untuk merespon lingkungan institusional. Jadi persoalan korupsi juga persoalan keterkaitan kelemahan hubungan antara lembaga (dalam artian lebih abstrak) dan organisasi. Jaringan aktor merupakan salah satu fokus perhatian perspektif ini. Jaringan aktor merupakan jembatan untuk mengakses sumber daya di organisasi lain.
Melihat persoalan korupsi hanya dengan satu dua perspektif jelas tidak memadai untuk negara dengan tingkat korupsi luas seperti Indonesia. Belakangan ini sifatnya semakin mendalam secara substantif. Bentuk, latar belakang aktor, dan mekanisme korupsinya semakin beragam. Hal ini bisa dicontohkan dalam kasus Bank Century, ekonomi ilegal dan pencucian uang, dan kasus M. Nazaruddin. Kasus-kasus tersebut melibatkan aktor yang berada dalam organisasi yang berbeda. Pembahasan korupsi model kasus Nazaruddin belum banyak dibahas di tingkat internasional, menunjukkan keseriusan korupsi di Indonesia.
Kasus-kasus di Indonesia bukan hanya pelanggaran hukum, apalagi hukum itu sendiri mempunyai persoalan lemah legitimasi karena antara lain dibuat oleh politisi parlemen yang tidak dipercaya publik. Persoalan korupsi mengandung dimensi antropologis dimana terjadi perubahan pemaknaan ke arah pragmatisme luar biasa. Jelas sekali mengandung dimensi politik karena melibatkan eksistensi parta-partai dan instrumen kenegaraan.
Sangat jarang studi yang mengembangkan suatu kerangka interdisipliner secara khusus sebelum dilakukan studi. Itulah sebabnya yang banyak dilakukan selama ini lebih sebagai pendekatan eklektik, artinya berupaya memasukan berbagai pertanyaan dari berbagai disiplin. Bahkan dalam hal inipun, upaya yang sistematik terhadap persoalan korupsi sangat jarang dilakukan.
Studi tentang korupsi yang berskala besar kebanyakan dilakukan oleh organisasi pembangunan internasional atau asing. Studi semacam ini bertujuan pada aksi, yang dalam hal ini aksi mengatasi persoalan korupsi. Studi yang dibiayai program donor fokus pada lembaga-lembaga publik, seperti kantor pajak, peradilan, pelayanan publik, atau kepolisian. Aspek yang banyak dilihat adalah governansi dari lembaga-lembaga tersebut, khususnya dari kinerja struktur dan aturan formal.
Untuk Indonesia, persoalan korupsi harus menjawab dimensi, a) persoalan pengalokasian sumber daya dan dampaknya bagi kesejahteraan masyarakat; (b) persoalan politik dan kepentingan; (c) persoalan kultural dan normatif; (d) persoalan hukum formal; (e) persoalan interaksi oleh aktor individu, organisasi, dan kelembagaan; dan (f) persoalan transformasi organisasi dan kelembagaan. Dimensi yang masih belum banyak diketahui adalah kararakter jaringan yang mengakses beberapa organisasi, rumusan relasi antar-lembaga yang menimbulkan celah korupsi, serta munculnya organisasi baru (atau reinterpretasi fungsi) sebagai mekanisme korupsi.
Meuthia Ganie-Rochman
Ahli sosiologi organisasi, mengajar di Universitas Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar