Rolip Saptamaji, Mahasiswa pascasarjana Ilmu Politik Universitas
Padjadjaran Bandung, koordinator kajian politik
kontemporer, Forum Studi Ilmu Politik (Forsip) Unpad
BELUM genap setahun perjanjian damai
antara etnis Lampung dan etnis Bali disepakati kedua belah pihak, konflik
disertai kekerasan kembali pecah di Lampung Selatan. Kerusuhan bermotif konflik
komunal antar etnis yang terjadi di desa Balinuraga, Desa Patok dan Sidoreno,
adalah yang terparah dari rangkaian kerusuhan sebelumnya karena mengakibatkan
jatuhnya belasan korban jiwa dan ribuan lainnya terpaksa mengungsi.
Sebenarnya, kerusuhan dan kekerasan
komunal bukanlah hal yang mengejutkan di Lampung Selatan. Seorang akademisi
dari Universitas Lampung menyebutkan, konflik komunal di Lampung Selatan
sudah terjadi sejak tahun 1990an yang setidaknya telah terjadi lima kasus
serupa (Kompas/2/11/2012). Dalam setahun ini, Lampung Selatan memang
kerap dilanda kerusuhan baik yang bercorak komunal yang terlihat ‘horisontal’
maupun yang bercorak politis yang terlihat ‘vertikal.’ Setidaknya terdapat tiga
kasus kerusuhan bercorak komunal dan dua kasus kerusuhan bercorak politik yang
terjadi di Lampung Selatan sepanjang tahun 2012.
Diawal tahun, tepatnya pada 24
Januari, terjadi konflik komunal yang melibatkan warga Desa Kotadalam yang
mayoritas adalah etnis Lampung dengan warga Desa Napal yang etnis Bali. Konflik
ini diselesaikan dengan perjanjian perdamaian antra kedua etnis. Beberapa hari
kemudian, pada 31 januari, terjadi kerusuhan di Gedung DPRD II Lampung
Selatan, akibat serbuan dari massa pendukung salah satu calon Bupati.
Tiga bulan kemudian, pada 2 April,
warga Dusun Sidodadi dan Dusun Induk Negara Saka, saling bacok karena
kesalahpahaman tentang pejabat sementara kepala desa. Empat minggu kemudian,
pada 30 April, ribuan orang pengunjuk rasa membakar patung Zainal Abidin
Pagaralam di jalan lintas Sumatera. Masa damai pun hanya berlangsung beberapa
bulan saja, karena tak lama setelah hari raya Idul Adha, bertepatan dengan hari
Sumpah Pemuda, kerusuhan kembali pecah di Desa Balinuraga, Desa Patok dan
Sidoreno. Kali ini, kerusuhan menelan belasan korban jiwa dan menjadi isu
kemanusiaan tingkat nasional yang berkelindan dengan eskalasi politik nasional.
Berbeda dengan kasus-kasus
sebelumnya, kasus 28 Oktober mencuat ke permukaan bahkan terus dibahas media
massa hampir tanpa jeda. Banyak spekulasi bermunculan mengenai factor pemicu
konflik ini, beberapa diantaranya diterima oleh public. Perlu dipahami bahwa
spekulasi ini pada umumnya muncul hanya sebagai reaksi dari kejadian yang
ditampilkan di permukaan oleh media massa.
Spekulasi yang muncul didominasi
oleh tiga pihak, yaitu pihak akademisi yang berorientasi pada penyelesaian
konflik, kemudian pihak politisi atau pejabat lokal yang juga berorientasi pada
penyelesaian konflik secepatnya sekaligus menakar peluang politik yang muncul
dari kerusuhan, dan terakhir adalah pihak aktivis prodemokrasi yang
menghubungkannya dengan rencana undang-undang keamanan nasional (RUU Kamnas).
Spekulasi dari ketiga pihak tersebut didukung oleh pengumpulan fakta lapangan
yang dipublikasikan oleh media massa, sehingga dapat dikatakan masing-masing
memiliki argument yang kuat.
Kekerasan komunal seperti yang
terjadi di Lampung Selatan merupakan eskalasi kekerasan yang tidak terjadi oleh
satu unsur pemicu. Menganggap kekerasan komunal berakar pada satu kausal saja
hanya akan menjerumuskan kita pada simpulan yang menjauhkan kita dari akar
konflik yang berpotensi di replikasi di daerah lain. Kekerasan komunal semacam
ini tidak hanya terjadi di Lampung Selatan, namun juga terjadi di daerah-daerah
lain dengan pola eskalasi yang hamper serupa. Asumsi bahwa kekerasan hanya
bersifat horisontal atau hanya bersifat vertikal, juga adalah spekulasi yang
kurang tepat karena sesungguhnya kekerasan komunal menghadirkan dimensi sosial
dan politik secara bersamaan.
Penyematan istilah ‘Konflik
Horisontal’ berorientasi pada terbentuknya opini bahwa konflik tersebut
berada di luar kekeuasaan Negara, karena hubungan antara Negara dan masyarakat
adalah hubungan vertikal. Pemisahan domain konflik pada garis linear vertikal
dan horisontal, wacana ini menghasilkan tirai samar peran Negara dalam dinamika
masyarakat. Dengan menyematkan status ‘konflik horisontal’ pada kasus kekerasan
komunal, eskalasi politik yang terjadi di lokasi konflik berlangsung seringkali
diabaikan. Pengabaian ini memang menguntungkunan kelompok yang kepentingannya
disamarkan oleh kasus bombastis semacam kekerasan komunal. Oleh karena itu utuk
mengurai permasalahan di Lampung Selatan, saya kembali menggunakan model
Dinamika Perseteruan seperti yang telah saya gunakan pada tulisan sebelumnya
mengenai politik kekerasan komunal.
Mengapa Lampung Selatan?
Pertanyaan ini mungkin terdegar
sepele, namun bagaimanapun juga belum ada analisa yang mencoba menjawab mengapa
kekerasan komunal pada 28 oktober lalu dapat terjadi di Lampung Selatan.
Faktanya, masyarakat Bali di Provinsi lampung tidak hanya berada di Lampung
Selatan, melainkan hampir di semua kabupatendan kota di provinsi Lampung. Etnis
Bali di Bandar lampung, misalnya, berbaur dalam satu pemukiman yang sama
dengan etnis lain, sekolah di sekolah yang sama dan sebagainya. Komposisi etnis
di Lampung Selatan menunjukkan bahwa etnis Bali juga bukan etnis yang
terlalu minoritas, sebaliknya etnis Lampung juga bukan etnis mayoritas.
Pertanyaan mengapa kekerasan komunal terjadi di lampung Selatan tidak mungkin
dijawab hanya dengan memberikan deskripsi konfigurasi sosial di Lampung Selatan.
Secara geografis, Lampung Selatan
merupakan wilayah strategis ekonomi di provinsi Lampung. Kenyataan bahwa
pertumbuhan ekonomi di Lampung Selatan yang menurun pada tahun ini, hanya
5,9 persen dibandingkan pertumbuhan ekonomi provinsi Lampung yang mencapai 6,3
persen tidak dapat mengubah kenyataan potensi ekonominya. Kabupaten ini
merupakan gerbang penghubung pulau Sumatera dan pulau Jawa yang dilengkapi oleh
dua pelabuhan laut yaitu Bakauheni dan Panjang. Selain itu, Lampung Selatan
juga sentra produksi pertanian Jagung dan Pisang di Propinsi Lampung. Luas
lahan yang digunakan oleh aktivitas pertanian dan perkebunan di kabupaten ini
mencapai puluhan ribu hektar. Potensi pertambangan mineral juga terdapat di
kabupaten ini.
Potensi lain adalah potensi pariwisata
dan mega proyek infrastruktur jembatan Selat Sunda, yang diperkirakan mencapai
200 Triliun rupiah. Proyek infrastruktur lain seperti pembangunan jalan tol
Sumatera dan pembangunan jalur lintas pesisir, juga memenuhi portofolio
investasi kabupaten ini. Tentu saja potensi ekonomi dengan nilai transfer yang
begitu besar ini membuat banyak pihak tergiur. Sayangnya, seiring dengan
mencuatnya kasus kekerasan komunal informasi mengenai megaproyek tersebut mulai
luput dari perhatian.
Konfigurasi politik di kabupaten ini
tidak kalah unik dengan potensi ekonominya. Kasus kerusuhan pembakaran patung
ZAP pada bulan April, membuka mata publik bahwa kabupaten ini sedang dilanda
krisis politik. Pembakaran patung ZAP dimaknai oleh masyarakat dan aktivis
gerakan sosial di Lampung sebagai penghancuran simbol oligarki di provinsi
Lampung. ZAP tidak lain adalah kakek dari Bupati Lampung Selatan
sekaligus ayah dari Gubernur Lampung. Pembakaran yang dimotori oleh konsolidasi
masyarakat adat yang bekerjasama dengan elemen gerakan sosial lainnya ini
merupakan pertanda krisis politik di kabupaten tersebut.
Setali tiga uang dengan kondisi
politik di Lampung Selatan, kondisi politik di provinsi Lampung sendiri mulai
memanas menjelang pemilihan kepala daerah yang masih belum tentu jadwalnya.
Uniknya, ketidakpastian jadwal pemilihan gubernur tersebut tidak menghalangi
kampanya para bakal calon Gubernur. Upaya kontoversial gubernur Lampung untuk
memperpanjang jabatannya hingga 2015, memancing kontroversi luas di kalangan
politisi lokal dan aktivis daerah yang menganggap gubernur menerapkan politik
dinasti.
Sementara perseteruan politik
ditingkat elit meningkat, kerusuhan-kerusuhan terus terjadi dalam berbagai
level di tingkat massa. Konfigurasi dan dinamika ekonomi-politik di privinsi
Lampung semakin menambah kerumitan penyelesaian konflik-konflik yang terus
terjadi di Lampung. Dalam konteks ini, konfigurasi ekonomi-politik tidak dapat
dipisahkan dari analisa mengenai kasus kerusuhan Oktober atau bahkan semua
kasus kerusuhan yang melanda provinsi Lampung sepanjang 2012. Kerusuhan Oktober
tentunya tidak dapat dipisahkan dari konfigurasi tersebut karena semenjak
terjungkalnya orde baru, krisis politik selalu berbarengan dengan kekerasan
komunal. Kejadian di Poso, Ambon, dan Maluku Utara merupakan refleksi yang
tidak dapat dilepaskan ketika kejadian konflik komunal berulang di daerah lain.
Menambah spekulasi: peluang politik
yang muncul dari kerusuhan Oktober
Hingga saat ini kasus kekerasan
komunal selalu membuat kita terkejut dan tidak habis pikir, karena pemicunya
yang sepele dan tidak terduga. Seperti kasus Poso yang katanya disulut oleh
pertengkaran antara dua pemuda di terminal, kasus kerusuhan Oktober di Lampung
dipicu oleh kejadian dua gadis Agom pengendara sepeda motor yang dihadang
pemuda Balinuraga bersepeda hingga terjatuh. Siapa sangka kejadian ini memicu
kerusuhan yang melibatkan mobilisasi ribuan warga dari desa Agom. Gelombang
kerusuhan ini bahkan tidak terjadi satu kali, gelombang kedua yang terjadi
dalam hitungan 12 jam dari penyerangan pertama melibatkan mobilisasi yang lebih
banyak lagi, hingga warga Balinuraga terkepung oleh ribuan massa penyerang yang
disinyalir berasal dari berbagai etnis lampung.
Belum jelas siapa yang memobilisasi
ribuan orang dalam waktu singkat untuk melakukan penyerangan sistematis seperti
ini. Seorang saksi yang saya wawancara menceritakan kecurigaannya ketika
kerumunan massa penyerang berhenti sejenak dan salah satu anggota kerumunan
massa tersebut berteriak ‘Tanya Abang,Tunggu komando Abang .’ Entah siapa
“Abang” yang ia maksud, namun sudah cukup menjelaskan bahwa penyerangan ini
terorganisir. Kerusuhan ini berakhir dengan evakuasi warga desa Balinuraga dan
menelan 14 korban jiwa. Meskipun begitu perdamaian antara kelompok yang
bertikai baru tercapai seminggu kemudian, itupun baru pada tingkatan elit.
Menemukan korelasi ekonomi politik
pada kekerasan komunal, memang bukan perkara gampang. Terlebih informasi
mengenai keterkaitan kekerasan komunal dengan dinamika politik hampir mustahil
akurat karena dinamika sosial tidaklah seperti deretan angka statistik.
Meskipun begitu upaya menemukan korelasi politik terhadap kasus kekerasan
komunal penting untuk dilakukan untuk mengurai kekerasan komunal tersebut.
Model analisa dinamika perseteruan dapat digunakan untuk menguji korelasi
politik dengan kerusuhan/perseteruan komunal seperti yang terjadi di Lampung.
Dinamika perseteruan
mengidentifikasi lima indikator untuk menganalisa perseteruan politik yaitu;
pembentukan identitas, eskalasi konflik, polarisasi politik, mobilisasi dan
pembentukan aktor. Kelima indikator ini dapat mengurai kusutnya fakta yang
muncul di sekitar kasus kerusuhan komunal yang seringkali terjadi tak terduga.
Dalam tulisan sebelumnya, saya telah mengurai operasional kelima indikator ini.
Pembentukan identitas dalam konteks
ini bukanlah pembentukan identitas budaya sebagai budaya melainkan pembentukan
identitas politik. Identitas komunal pasca orde baru selalu bereskalasi pada
identitas etnis dan relijius. Kedua identitas ini secara efektif mampu
mengumpulkan solidaritas massa dari berbagai kalangan sekaligus dapat
dimanfaatkan dalam mobilisasi politik. Asumsi ini dapat dibuktikan dengan
banyaknya kandidat politik yang menyematkan gelar relijius (mis, Haji, Pendeta,
dll) dan gelar etnis (mis, Sultan, Raden, marga, dll) untuk mendapatkan
dukungan dari komunitas yang berkaitan dengan identitas tersebut.
Pembentukan identitas politik juga
terjadi di Lampung Selatan. Gelar-gelar adat yang sebelumnya tidak digunakan
kini mulai direstorasi, identitas-identitas lokal yang beragam seperti
perbedaan antara saibatin, pepadun dan paksi di suku Lampung kembali muncul.
Berbeda halnya dengan etnis Bali yang identitas komunal melalui gelar-gelar
adatnya memang tidak pernah ditinggalkan karena terintegrasi dengan
ritual-ritual keagamaannya. Pembentukan identitas ini tidak menimbulkan masalah
selama tidak berubah menjadi kampanye diferensiasi identitas yang mengarah pada
provokasi penolakan terhadap komunal tertentu.
Namun, pada konteks transisi politik
yang sedang dijalani oleh Indonesia, dengan munculnya desentralisasi/otonomi
daerah yang memungkinkan daerah memiliki kekuasaan maksimal terhadap sumber
daya dan keuangan di daerahnya, pembentukan identitas komunal seringkali
diarahkan pada kepentingan politik elit lokal. Terbukanya kran kekuasaan
finansial yang besar di daerah, selalu menciptakan motivasi politik para elit
lokal. Elit lokal tersebut tidak hanya berasal dari sipil, mungkin juga muncul
dari pihak militer atau purnawirawan militer atau siapapun patron lokal yang
mampu membaca peluang politik tersebut.
Peluang politik yang disediakan oleh
otonomi daerah memang menjanjikan harapan yang besar pada jumlah potensi
finansial daerah, namun juga berwajah putus asa oleh ketidakpuasannya dengan
penguasa lokal dan nasional. Dalam kondisi tersebut, patron-patron lokal yang
sebelumnya tidak bersikap sebagai oposisi dapat bermanuver untuk memperbesar
peluang politiknya. Manuver tersebut dapat menghasilkan krisis politik jika
penguasa lokal mulai pudar pengaruhnya. Situasi krisis politik inilah yang
sedang terjadi di Lampung Selatan atau mungkin provinsi Lampung.
Eskalasi konflik di Lampung Selatan
yang terhitung sejak Januari tahun ini kemudian memuncak pada kerusuhan
Oktober. Setiap episode konflik memiliki domain yang berbeda-beda, namun dapat
terintegrasi pada puncak konfliknya meskipun belum sepenuhnya mencapai titik
didih. Secara dramatis, legitimasi politik Bupati Lampung Selatan semakin
menurun karena kegagalannya menangani kerusuhan di wilayahnya, begitu juga
dengan sang Ayah yang mulai mendapat kecaman. Bahkan, para pejabat lain ikut
tertimpa dampaknya seperti Kapolda Lampung yang gagal menjadi Kapolda Jawa
Barat karena terpotong kasus ini.
Setelah eskalasi konflik memanas,
polarisasi politik dengan segera muncul seiring dengan peluang politik yang
didapat dari peristiwa. Polarisasi politik ini menunjukkan peta perseteruan
kekuasaan yang menentukan pada kontestasi kekuasaan lokal atau secara simultan
juga berpengaruh pada dinamika kontestasi kekuasaan nasional. Polarisasi
politik tidak berjalan statis dan merupakan akhir, namun masih terus berkembang
hingga kontestasi dalam arena demokrasi lokal ataupun nasional terjadi.
Dua indikator terakhir dinamika
perseteruan adalah yang paling berkaitan yaitu mobilisasi dan pembentukan
aktor. Mobilisasi yang dimaksud tidak terbatas pada mobilisasi massa pada saat
kekerasan komunal terjadi, namun serangkaian kejadian yang secara eskalatif
melahirkan peluang politik yang akan membentuk aktor-aktor baru dalam
kontestasi politik. Kekerasan komunal dalam bentuk kerusuhan antar etnis selalu
didahului oleh sederetan perubahan sosial yang mendahului konflik. Perubahan
konfigurasi ekonomi politik sangat berpengaruh pada perubahan ini. Di Lampung
Selatan, misalnya, yang harus diperhatikan adalah bagaimana perubahan pemilikan
lahan, pembangunan infrastruktur baik swasta maupun Negara yang mengubah
pranata sosial seperti terjadinya deagrarianisasi dengan munculnya
industri manufaktur atau industri perkebunan dan tingkat pendapatan masyarakat.
Perubahan sosial ini seringkali
dibarengi dengan pembentukan identitas komunal tertentu yang kemudian
menjadikan komunal-komunal tersebut semakin waspada akan ancaman dan peluang
yang menguntungkan mereka. Di Lampung Selatan, proses ini dapat terlihat ketika
orang Lampung menyebut etnis Bali sebagai ‘Pendatang’ yang berkonotasi liyan
terhadapnya. Pemisahan identitas ini kemudian mendorong terbentuknya
organisasi-organisasi untuk menangani ancaman tersebut. Organisasi yang
dimaksud bukan hanya dalam bentuk ormas yang dikenal secara luas, namun juga
dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan yang bersifat territorial yang longgar.
Pada saat konflik memuncak atau
menemukan momentumnya untuk pecah, organisasi-organisasi tersebut melancarkan
aksi kolektif menentang pihak lain. Pada kerusuhan Oktober, tersebar pesan
pendek gelap yang isinya memprovokasi kedua belah pihak. Selain itu
lansiran opini-opini mengenai kerusuhan Oktober di berbagai media internet
bernada provokatif, bermunculan dari kedua belah pihak yang bertikai. Keadaan
ini terus terjadi hingga puncak kerusuhan dan menghasilkan eskalasi
ketidakpastian yang memperbesar ancaman dan peluang tadi, persis seperti yang
sedang dihadapi oleh etnis Bali dan Lampung setelah kerusuhan ketika
kesepakatan perdamaian belum juga tercapai.
Dalam kondisi ini tentu saja
dibutuhkan orang-orang yang mampu memastikan keadaan dan mencegah konflik
berkelanjutan. Kondisi ini mendorong munculnya aktor-aktor baru yang sebelumnya
tidak pernah terdengar atau tidak dikenal luas dan dinilai lebih netral. Pada
kasus kerusuhan Oktober di Lampung ini, nama-nama baru mulai mencuat di media
massa nasional. Tidak itu saja, lembaga-lembaga komunal pun bermunculan secara
bertahapk, baik yang mengambil sikap untuk menegaskan demarkasi komunal maupun
yang berusaha mendamaikan konflik.Terlepas dari penilaian normatif baik atau
buruknya kemunculan para aktor tersebut, mereka kini merupakan aktor-aktor
kunci yang mampu menengahi konflik yang sedang terjadi.
Meskipun begitu, kemunculan para
aktor ini tidak akan berarti apapun jika konsensus antara kedua pihak yang
bertikai gagal diperoleh. Apalagi jika permasalahan yang muncul di lapisan
bawah hanya diendapkan. Persoalan lain yang masih kabur seperti korelasi luas
pada keadaan ekonomi masyarakat dengan kerusuhan, juga perlu diteliti lebih
mendalam.
Korelasi vertikal dengan politik
nasional yang dilontarkan oleh aktivis pro-demokrasi mengenai kaitan rangkaian
kekerasan komunal sepanjang 2012 dengan pembahasan RUU Kamnas (Rancangan
Undang-Undang keamanan Nasional), pun perlu diperhatikan secara serius. Sangat
tidak menutup kemungkinan isu keamanan dijadikan landasan untuk memeroleh
pembenaran kembalinya rezim stabilitas ala Orde Baru yang dimuat dalam RUU
Kamnas yang menguatkan kembali peran militer. Namun, dalam konteks kerusuhan
Lampung asumsi ini hanya memiliki korelasi luas yang lemah, kecuali secara
simultan mampu mendukung opini stabilitas nasional.
Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa
secara strategis, Lampung Selatan memiliki potensi ekonomi yang begitu besar
sehingga pertaruhan kekuasaan di tingkat lokal dapat lebih berperan ketimbang
pembentukan opini nasional. Selain itu, peluang pengesahan RUU yang
kontroversial tersebut tidak seterang kepastian mega proyek Jembatan Selat
Sunda yang sudah ditaksir oleh dua puluh calon investor dari Cina, Korea,
Jepang ,dan Amerika Serikat. Indikator lain adalah kampanye ‘Damai Itu Indah’
Komandan Korem Garuda Hitam, yang kini sedang mencoba peruntungan pada
pemilihan gubernur Lampung, juga menunjukkan tingginya pertaruhan kekuasaan
lokal di Lampung. Dalam dinamika perseteruan, massa digerakkan oleh
ketakutan-ketakutan politik sementara elite membuat perhitungan sendiri
berdasarkan peluang politik.
Simpulan
Kekerasan komunal yang terjadi di
Lampung Selatan bersifat lokal dan menemukan bentuknya dalam konfigurasi sosial
yang ada di Lampung Selatan. Dengan demikian, peristiwa ini tidak memiliki
penyebab tunggal melainkan irisan dari berbagai permasalahan yang saling
berkaitan. Analisa mainstream yang menempatkan konfigurasi sosial
sebagai akar permasalahan kekerasan komunal di Lampung Selatan, bukan saja
meleset namun mengabaikan unsur-unsur ekonomi politik yang membentuk potensi
konflik.
Konflik kekerasan komunal seperti
yang terjadi di Lampung Selatan dan daerah lainnya di Indonesia, selalu
memiliki korelasi dengan perseteruan politik di tingkat lokal dan potensi
ekonomi yang bakal muncul di daerah tersebut. Korelasi luas kekerasan komunal
di Lampung Selatan, dapat dilacak dari keluhan ekonomi dan konstelasi politik
nasional bukan terletak pada konfigurasi sosialnya. Konflik secara vulgar
memisahkan kelompok pendukung dan penentang penguasa lokal karena dapat dengan
mudah menunjukkan keberpihakan penguasa. Setiap tekanan ataupun simpati dapat
terekam dengan jelas dalam ingatan massa yang sedang mengalami eskalasi
konflik.
Korelasi luas pada politik nasional
tidak tepat jika hanya diarahkan pada RUU Kamnas, namun yang harus diwaspadai
adalah meluasnya wacana persetujuan depolitisasi ala Orde Baru. RUU Kamnas
hanyalah instrumen bagi bergeraknya pendulum demokrasi ke arah otoritarianisme
dengan alasan meluasnya sentimen primordialisme dan merebaknya kerusuhan
‘horisontal’ yang mengancam integrasi bangsa. Tapi saya setuju bahwa dalam
konteks penyelesaian kekerasan komunal, pendekatan keamanan harus dihindari.***
Daftar Pustaka
Buku:
Addison, Michael. 2002. Violent
Politics; Strategies of Internal Conglict. Palgrave. London
Davidson, James S., David Henley dan
Sandra Moniaga. 2010. Adat dalam Politik Indonesia. Penerbit KITLV
Jakarta dan Yayasan Obor Indonesia. Jakarta
Klinken, Garry. V. 2007. Perang
Kota Kecil: Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia. Yayasan Obor
Indonesia. Jakarta
Kriesberg. L. 1998. Constructive
Conflicts from Escalation to Resolution. Boulder Rowman and Liftfield
Publisher. Inc. New York
McAdam, D., Tarrow, S. dan Tilly, C.
2001. Dynamics of Contention. Cambridge University Press. New York.
Ritzer, George, Douglas J. Goodman.
20011. Teori-Teori Sosiologi Modern. Penerbit Kencana. Jakarta.
Surat Kabar:
Kompas/3/November/2012. Konflik
Lampung: Perdamaian Antarwarga terus Diupayakan.
Kompas/2/November/2012. Kasus
Lampung: Harus bangkit bangun Potensi.
Internet:
http://investasilamsel.com/invest/. Peluang Investasi Lampung Selatan
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=313782 RUU kamnas menakutkan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar