|
Kota itu seperti bayangan harapan, bahkan wilayah ideal, dimana kita mengacu dan menemukan realitas Indonesia yang sesungguhnya. Namun, beberapa waktu lalu, semua itu tiba-tiba menjadi buyar. Sebuah drama kekerasan, yang tak pernah dijumpai bahkan terbayangkan pun tidak oleh warga Temanggung, seperti memorakporandakan bayangan dan idealisasi itu. Temanggung koyak-moyak, oleh satu hal yang mungkin orang Temanggung sendiri tidak memercayainya.
Begitupun hal serupa terjadi di sebuah desa, enam jam dari Pandeglang. Sebuah wilayah terpencil, cukup makmur, nyaman, damai, aman, dan seperti tak terusik oleh kedegilan urban. Cikeusik, desa itu, sekonyong berubah hanya dalam satu siang. Ia menjadi headline semua media massa, karena kekerasan antar agama terjadi, hingga meminta jiwa. Sebuah peristiwa yang dibayangkan pun tak pernah oleh warga desa itu.
Dapatlah kita kemudian memperkirakan, apa kemudian yang muncul dalam pikiran dan hati kita setelah dua peristiwa mutakhir itu? Ternyata, di tempat yang paling aman dan nyaman, dimana kesejahteraan jadi jaminan, tradisi dipertahankan, dan kehidupan sosial begitu toleran, ternyata bisa pula menjadi ajang kekerasan. Semua pencitraan lama, seakan runtuh seketika. Ideal-ideal itu luluh lantak. Tak ada lagi tempat yang damai di negeri ini. Negeri ini kini tinggal menjadi ancaman, melulu ancaman.
Maka, ketika rasa aman itu hilang, secara psikologis kita mengalami semacam neurotika sosial, bahkan paranoia dengan setumpuk trauma dan stigma mengisi diri kita, sebagai bangsa, sebagai manusia. Khaos pada tingkat psikologis tentu dengan mudah tercipta. Begitupun pada tingkat atau dimensi lain, kerancuan atau dunia acak pun tercipta dalam hidup bernegara dan berbangsa kita.
Ketika pusat-pusat otoritas, seperti ulama, cendekiawan, budayawan, politikus, hingga aktivis sosial ternyata juga goyah peran dan statusnya –karena perilaku mereka yang menyimpang, korup dan haus kekuasaan/kekayaan—maka khaos di tingkat moral pun mengikutinya. Ketika ukuran-ukuran kebenaran, data dan fakta kenyataan menjadi sumir karena dimanipulasi lewat retorika dan argumentasi, lalu semua orang menerakan kebenaran subyektifnya sendiri-sendiri, khaos secara intelektual pun tak terhindar sebagai ekses ikutan.
Kita pun tahu, bagaimana kebebasan bicara sebagai anak kandung reformasi, telah mengubah semua tatanan sosial kita, pola komunikasi dan relasi, hingga tata krama dan tradisi, sesungguhnya khaos secara kultural telah terjadi pula. Anda tinggal mengurutkan peristiwa-peristiwa untuk mendapatkan khaos itu tercipta di semua dimensi, sosial, hukum, politik, ekonomi, dan seterusnya. Apa kemudian kita dapat?
Tidak lain adalah labilitas. Hidup yang rancu tanpa pegangan sejati, disorientasi dan dislokasi. Masyarakat menjadi pasien penyakit yang akut dan negara menjadi sebuah rumah sakit yang dipenuhi simtom-simtom kejiwaan di berbagai levelnya. Apa kemudian yang dapat terjadi? Kericuhan, tentu saja. Kekerasan yang makin merajalela. Kehilangan kepercayaan bukan hanya pada otoritas tradisional, tapi juga pada diri sendiri. Apa lalu yang mungkin dapat diambil manfaatnya?
Kerusuhan sosial yang menggila, segera mendapatkan nama, dapat mereknya. Reformasi, revolusi, reparasi, apalah sebutannya. Dan jatuhkan seorang Don Kisot di tengahnya, ia akan jadi pahlawan dalam seketika. Tuangkan fasilitas menggiurkan dan semangkuk janji di dalamnya, maka masyarakat labil itu akan menjadi bebek yang siap digembala. Apa pun yang dimau peniup serulingnya, penggembala misterius yang muncul tiba-tiba, begitu saja. Kepadanya, seluruh diri dan kekayaan siap kita berikan padanya.
Ancaman Kapital Itu
Uraian di atas memang terlampau singkat dan masih menyimpan data-data historis di dalamnya untuk bisa menjadi proposisi yang argumentatif. Mungkin bisa dianggap spekulatif, bila kita tidak cermat melihat logika yang dimainkan sebenarnya sangat sederhana. Dan logika seperti ini dapat ditemukan bukan hanya pada reformasi 1998 di Indonesia, di Tunisia dan Mesir baru-baru ini, di puluhan negara Afrika dan Asia jauh sebelumnya, atau mungkin di beberapa negara Timur Tengah di waktu yang tak lagi lama.
Kejadian di Cikeusik dan Temanggung, adalah peristiwa-peristiwa yang –tentu saja kita tahu, secara sadar atau intuitif belaka—tidak terjadi secara spontan. Ia direncanakan, direkayasa dan didesain dengan sebuah skenario yang disembunyikan. Ini adalah tengara banyak pihak. Selain data lapangan yang banyak membuktikan hal itu, seperti kelompok penyerang yang jelas terorganisasi baik, sebagian besar tidak berasal dari wilayah kejadian, perilaku penyerang yang ganjil alias tidak padan dengan tabiat atau karakter penduduk setempat, dan memperlihatkan pola yang sama juga tujuan yang kasat nyata.
Ini adalah sebuah permainan yang tidak bisa lagi dilihat dengan kacamata, teori, atau penalaran-penalaran tradisional yang kaku, naif, dingin, dan tampaknya netral. Zaman sudah terlampau jauh berkembang dan berbeda dari semangat logika atau keilmuan romantik itu. Semakin lumernya batas atau demarkasi negara, membuat kekuatan-kekuatan baru mengambil alih kepentingan nasional dalam diplomasi internasional. Kepentingan dari kekuatan baru tidak lain adalah modal, uang atau kapital. Sebuah kekuatan dahsyat –bahkan lebih dari negara super power sekalipun-- yang dapat mengakses bahkan terlibat langsung dalam urusan internal bangsa manapun tanpa restriksi perbatasan negara tradisional.
Kekuatan-kekuatan baru ini sungguh tak dapat diremehkan atau secara naif kita anggap sudah diatur dalam sebuah pasar bebas yang memiliki hukum besinya sendiri. Hubungan internasional selama ini bisa terjadi melalui respek pada kedaulatan masing-masing dan tukar-menukar terjadi secara seimbang. Tapi dalam hubungan kapital dasar-dasar itu tidak berlaku, karena hukum profitlah yang merajalela. Modal adalah vampir yang mencari mangsa, darah para korbannya di pasar bebas. Dan ia tidak peduli pada negara, juga tidak ada kedaulatan tengik dan kuno yang dapat menghalanginya.
Tentu sebagian dari Anda tahu, bahwa itulah semangat yang menjadi jiwa dari 50 letter of intent IMF, yang secara paksa harus ditandatangani Soeharto di ujung kekuasaannya, di ketiak Michel Camdessus, Presiden IMF, yang berdiri congkak sambil bersidekap tangan di dada. Kapital adalah kuasa. Ia adalah kunci dan garansi kesejahteraan, alakazam bagi sukses sebuah negara, sebuah pemerintahan tepatnya. Maka tumpuklah kapital, maka negara akan kau taklukan, bahkan dunia dapat kau tundukkan.
Ancaman Sumberdaya Itu
Maka janganlah tercengang bila kekayaan pada pemilik kapital (kapitalis) dunia saat ini sudah berlipat-lipat dari GDP dunia. Artinya bila dunia pun bangkrut, mereka –yang hanya segelintir itu—dapat menjadi penyelamat sebagai rentenirnya. Janganlah termangu, bila peningkatan penghasilan per kapita atau GDP nasional sebuah negara meningkat tapi kesejahteraan tetap bahkan menurun. Karena kapitalis-vampir telah menghisap hasil kerja masyarakat itu untuk memenuhi brankas Paman Gobernya, Uncle Govern plesetannya, paman yang menjadi aktor kunci di balik semua government.
Kini, dengan pergolakan “kebebasan” dan “demokrasi” yang segera melanda dunia Arab, sebagai sisa dunia yang belum dijamah pasar bebas para vampir, sudah lebih dari dua pertiga dunia sebenarnya sudah dalam kuasa modal. Kuasa yang tak hanya menggerakan senjata (militer), politik hingga kebudayaan. Uang sudah menumpuk luar biasa, hingga pemiliknya bingung untuk bagaimana menghabiskannya. Hingga muncul persoalan baru.
Persoalan baru itu adalah climate change. Satu fenomena alam yang –juga disebabkan oleh ulah pemodal juga—menciptakan perubahan signifikan dalam cara kita bersimbiosa dengan alam. Eksploatasi industri para kapitalis pada alam, akhirnya membuahkan kenyataan pahit: alam menjadi mandul dan menyisakan kemarahan yang melahirkan banyak bencana. Risiko terpahit: alam tidak lagi bisa menyediakan bahan-bahan yang menjadi kebutuhan dasar hidup dan peradaban yang terbangun saat ini.
Kelangkaan sumberdaya natural ini begitu kritis, hingga tak sampai sepuluh tahun lagi, kita bisa adu nyawa hanya perkara sekilo beras atau seliter bensin atau sejengkal tanah tempat kita berdiam. Tak sampai sepuluh tahun lagi, Istana Negara tenggelam oleh air laut, dan beberapa negara kepulauan kecil lenyap dari atas bumi. Lalu kemana penghuninya? Mana negara –yang sudah kian terbatas sumberdaya alamnya—mau berbagi dengan mereka? Keberlangsungan spesies berakal ini sudah perlu masuk gawat darurat, tapi ilmu dan teknologi belum siap memberikan jalan yang komprehensif.
Di titik inilah, para kapitalis-vampir menggeser motif dan tujuan kerjanya. Bukan lagi uang sebagai kapital yang dicari. Ia sudah cukup bahkan berlebih. Kini, sumberdaya alam itulah kapital yang sebenarnya. Bila ada yang mau menjualnya, uang akan membelinya. Berapa pun. Siapa mau jual Bali, Kalimantan, Papua? Tak satu pun, tentu saja. Maka vampir-vampir itu pun menggerakan modal tradisionalnya, uang, untuk membeli paksa, mengancam, mengelabui, kalau perlu membunuh, untuk mendapatkan sumberdaya alam itu dari negeri-negeri yang masih banyak menyisakan kekayaannya.
Anda tahu sendiri, dimana Indonesia posisinya? Negeri dengan ideologi yang limbung, kepribadian yang terhuyung, dan negara yang bingung ini? Coba sekali kita tidak menghamba teori dan rasionalisme-materialistik, tapi gunakan batin, hati, dan kepekaan tubuh kita. Mungkin sebelum Anda menuduh paparan ini terlalu spekulatif dan simplistik, Anda dapat merasakan bagaimana bulu roma Anda meremang? Atau Anda menganggap bulu roma itu hanya ilusi film horror murahan saja, ketimbang akal oksidental yang tampak gagah, mewah dan congkak itu? Tak apa. Tidurlah dengan tenang.
Semoga Anda bangun esok pagi, tidak melihat cucu Anda yang belum lahir, menangis di tepi ranjang empuk yang impor (atau sekadar bergaya) dari Italia itu.
Radhar Panca Dahana, Budayawan, Sastrawan dan Pekerja Teater.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar